Info
Sejarah kebakaran hutan dan lahan dapat dijadikan suatu pelajaran penting, terutama apabila sejarah tersebut dikaji secara lengkap. Sejarah kejadian dapat dijadikan dasar analisa pola dan perilaku yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan upaya pencegahan di masa mendatang. Yang sering menjadi kelemahan kita adalah seringkali dokumen-dokumen yang berisikan informasi, catatan penting dan ataupun sederhana (yang pada saat ini tidak kita anggap penting) tidak terdokumentasi dengan baik.
Sajian sejarah kebakaran hutan dan lahan harus terdokumentasi untuk setiap wilayah kerja sehingga kita dapat belajar tentang tren (kecenderungan) kejadian kebakaran, perilaku kebakaran dan melihat lagi kelemahan-kelemahan kita pada masa lalu dalam upaya pengendalian kebakaran hutan. Berikut ini disajikan kilasan sejarah kebakaran hutan dan lahan secara umum di Indonesia sebagai catatan kecil dari beberapa referensi yang ada.
1. Pra kemerdekaan
a. Kebakaran hutan di Indonesia sudah menjadi permasalahan sejak pemerintahan Hindia Belanda. Kebakaran hutan menjadi perhatian dan menjadi dasar beberapa aturan (ordonansi) baik oleh pemerintah Hindia Belanda maupun pemerintahan kerajaan pada saat itu. Beberapa aturan yang menyangkut kebakaran hutan antara lain :
1. Ordonansi Hutan untuk Jawa dan Madura (1927) pasal 20
2. Provinciale Bosverordening Midden Java (pasal 14) yang menyebutkan upaya kesiapsiagaan menghadapi musim kebakaran di bulan Mei sampai dengan November dan tata cara penggunaan api (pembakaran) di perbatasan hutan.
3. Rijkblad-Soerakarta Ongko 11 (tahun 1939) yang memuat “ anulak bencana geni ing alas” atau tatatanan untuk menolak bencana yang diakibatkan oleh api di dalam hutan. (Soedarmo, 1999)
b. Penggunaan api dalam sejarah hidup manusia di Nusantara terbukti pada timbunan sisa-sisa terbakarnya vegetasi di dalam tanah di hutan hujan tropis yang diperkirakan lebih dari ratusan tahun yang lalu (Goldammer, 1993).
c. Dalam beberapa tulisan dari para penjelajah eropa yang mendarat di Borneo (Kalimantan) menyebutkan adanya serangan asap yang tercium sampai bermil-mil jauhnya di laut (Bowen et al, 2001)
d. Catatan sejarah dari Steenis dan Schippers-Lammertse (1965) menyebutkan bahwa sekitar tahun 1870 tecatat hilangnya hutan-hutan primer di Jawa karena cepatnya peningkatan populasi yang disertai dengan aktifitas manusia : api untung berburu, untuk kesenangan, untuk pembersihan lahan, akses, perubahan hutan menjadi lahan peternakan (Whitmore, 1975).
Dari beberapa catatan tersebut, dapat dilihat bahwa kebakaran hutan sudah menjadi permasalahan sehingga muncul beberapa aturan dalam mengendalikan kebakaran hutan (terutama untuk pembukaan pemukiman dan perkebunan). Apabila dirunut lagi, pembukaan hutan untuk perkebunan besar, mulai muncul saat terjadi pemindahan besar-besaran masyarakat Jawa (transmigrasi sebelum kemerdekaan) yang dilakukan oleh bangsa Eropa ke wilayah Sumatera Bagian Utara untuk membuka perkebunan. Dapat dibayangkan, ratusan ribu hektar hutan baik di Jawa dan Sumatera yang habis berikut dengan kekayaan yang ada di dalamnya digantikan dengan perkebunan karet, kopi dan teh.
2. Paska kemerdekaan :
Bowen dkk (2001) mencatat lima periode kebakaran hutan dalam skala besar yang terjadi di Indonesia. Periode tersebut mulai dari tahun 1982-1983, 1987, 1991, 1994, 1997-1998 yang terjadi pada saat periode gelombang panas (El-Nino).
a. 1982/1983
Tahun 1982/1983 terjadi kemarau panjang yang menjadi pemicu kebakaran besar di Kalimantan Timur yang menghancurkan 3,2 juta hektar dengan kerugian mencapai lebih dari 6 trilyun rupiah (FWI, 2001).
b. 1987
Tahun 1987, data yang dikeluarkan pemerintah, mencatat 66.000 Ha terbakar, namun pada kenyataannya kemungkinan luas hutan dan lahan yang terbakar sepuluh kali lebih luas dari data resmi terbut. Kebakaran terjadi menyebar mulai dari Sumatera bagian barat, Kalimantan sampai Timor sebelah timur. (Bowen et al. 2001)
c. 1991
Kebakaran besar kembali terjadi pada tahun 1991 pada lokasi-lokasi yang hampir sama dengan kebakaran pada tahun 1987. Data resmi yang dirilis menyebutkan terbakarnya 500.000 Ha dengan laporan terjadinya asap pada skala lokal (Bowen et al.2001).
d. 1994/1995
Tahun 1994, terjadi kemarau panjang yang melanda Indonesia, tercatat terjadi kebakaran besar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. BAPPENAS mencatat terjadinya kebakaran hutan dengan luasan 500.000 Ha pada tahun 1991 dan lebih dari 5 juta hektar pada tahun 1994 (BAPPENAS, 1999 dalam FWI, 2001). Bencana asap melanda sampai Malaysia dan Singapura pada akhir bulan September yang kemudian mendasari beberapa project dan kerjasama Internasional dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
e. 1997/1998
Tahun 1997/1998, di Indonesia kembali terjadi kekeringan dan gelombang panas yang menyebabkan kebakaran hampir di seluruh pulau Sumatera dan Kalimantan yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi serta menelan biaya ekonomi sekitar USD 1.62 – 2.7 miliar. Asap tebal yang terjadi mengakibatkan lumpuhnya beberapa bandara, pelabuhan dan jalan raya di Sumatera dan Kalimantan sehingga mengganggu roda perekonomian masyarakat. Biaya pencemaran asap menelan kerugian sekitar USD 674 – 799 juta dan terkait dengan emisi karbon kerugian terhitung sekitar USD 2.8 miliar dollar (Tacconi 2003). Bencana asap juga mempengaruhi kesehatan penduduk di Sumatera dan Kalimantan, bahkan sampai ke negara tetangga dan mengganggu stabilitas politik (Boer 2002).
Dari beberapa catatan tersebut, dapat dilihat kerugian yang besar yang diderita baik di dalam maupun luar negeri akibat kejadian kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap di Indonesia. Catatan penting juga yang dapat diperhatikan adalah mulainya respon dan kepedulian baik secara nasional maupun internasional terhadap pengendalian kebakaran hutan. Mulai dari munculnya aturan-aturan, lahirnya kelembagaan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan mulai dari Eselon IV (Seksi Pengendalian Kebakaran Hutan pada tahun 1983), Subdit Pengendalian Kebakaran Hutan (Eselon III pada tahun 1994) dan Eselon III dalam bentuk Direktorat Penanggulangan kebakaran Hutan dan Kebun serta tahun 2004 dengan perubahan nama menjadi Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. Selain penyempurnaan kelembagaan, peningkatan SDM pengendalian kebakaran juga terus terjadi, mulai dengan adanya pelatihan-pelatihan baik di dalam maupun di luar negeri dengan lembaga donor asing (FAO, GTZ, JICA dll) serta dibentuknya Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni.
Setiap rangkaian sejarah, menjadikan kita belajar dan berupaya meningkatkan kinerja kita dalam pengendalian kebakaran hutan di kemudian hari. Sudah selayaknya catatan-catatan kecil tersebut terdokumentasi dengan baik, mulai dari laporan-laporan kejadian kebakaran yang ada di Daops, tren hotspot, dinamika masyarakat di wilayah kerja, dinamika RTRWP serta kecenderungan-kecenderungan lainnya yang mungkin menjadi pendorong kejadian kebakaran hutan dan lahan. Selamat mencatat, dan belajar. (Ferdi PKH/09/13)
Referensi :
Boer C. 2002. Forestfire suppression in East Kalimantan Indonesia. Di dalam: Moore P, Ganz D, Tan L.C, Enters T, Durst P.B, editor. Prosidings of an International Conference on Community Involvement in Fire Management. Bangkok, Desember 2000. Bangkok: FAO. Hlm 69 – 74.
Bowen MR, Bompard JM, Anderson IP, Guizol P, Gouyon A. 2001. Anthropogenic fires in Indonesia, a viem from Sumatra. Di dalam : radojevic M & Eaton P, editor. EU & Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia.
[FWI] Forest Watch Indonesia. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor: Global Forest Watch
Soedarmo.1999. Kebijaksanan Pemerintah. Report Basic Training For Forest Fire Management Trainers. Bogor : ITTO Project.
Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: Penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. Bogor : CIFOR.